Membaca berita tentang akan ditutupnya Museum tertua di Indonesia yaitu Museum Radya Pustaka di Solo beberapa bulan lalu membuat saya mempertanyakan kembali, sejauh mana kepedulian kita terhadap keberadaan sejarah. Museum sebagai media penyimpan keagungan sejarah, sudah sepatutnya untuk diperhatikan keberadaannya. Museum Radya Pustaka adalah salah satu contoh wajah museum di Indonesia yang masih minim perhatian dari pemerintah maupun masyarakat. Dalam kunjungan kedua saya menuju Museum Trinil di Ngawi, saya menyempatkan diri untuk sedikit berbincang dengan Bapak Catur, Juru Pelihara Museum Trinil. "Kok ndak ada biaya retribusi untuk masuknya ya pak, apa tidak ada pemasukan untuk perawatan museumnya?" tanya saya kepada beliau. "Dulu ada dik, tapi sekarang dihilangkan supaya masyarakat lebih tertarik mengunjungi situs ini. Tapi ya kesadaran masyarakat masih belum terbangun, jadi ya tetap sepi." ujarnya. Papan penunjuk Museum Trinil yang tidak terawa