Postingan

Opa Zul

Gambar
Sudah dua kali saya datang kesini. Kios tua yang juga dijaga oleh seseorang yang sangat tua. Zulkifli namanya. Saya lebih suka memanggilnya Opa Zul. Entah kenapa saya tidak akan pernah merasa cukup untuk datang kesini berulang kali. Ada saja hal yang saya pelajari ketika berkunjung kesini. Dalam kesempatan kali ini, beliau sedang sibuk menulis sesuatu. Bukan, bukan menulis. Lebih tepatnya beliau sedang memperbaiki sebuah cover buku yang sudah terkelupas di beberapa bagiannya. "Yang biasa bantu-bantu sudah pulangkah, Opa?" tanya saya. " Oh iya, sudah pulang" jawabnya. Konversasi terpotong karena proses memilah dan memilih beberapa buku. Kemudian berlanjut kembali. "Besok lebaran libur kah tokonya, Opa?" tanya saya kembali. "Dua hari. Dua hari sudah cukup lah." jawabnya. "Ndak pulang ke kampung? Aslinya sebenarnya mana Opa?" lanjut saya. "Tsunami... tapi sudah di sini 60 tahun" jawabnya tegas sembari tertawa kec

3 Surga Buku Terpendam di Jogja Sepengetahuan Saya

Gambar
Bukan. Tulisan ini bukan akan mengulas " Shopping Center " yang terkenal itu. Bukan pula toko-toko seperti Togamas ataupun Social Agency yang memberi diskon kepada buku-bukunya setiap hari. Dalam tulisan kali ini, saya akan membahas tentang beberapa tempat "berburu" buku yang mungkin sedikit terlupakan atau bahkan beberapa dari kita belum mengetahui keberadaannya di Yogyakarta. 1. Gudang Penerbit Gramedia Terletak di Jalan Raya Tajem, tempat ini memang benar-benar berfungsi sebagai gudang. Jadi jangan heran jika buku-buku yang ada di sini adalah stok lama dan beberapa di antaranya sudah tertutup debu tebal atau kertasnya sudah agak menguning. Namun tentu saja hal tersebut tidak membuat buku-buku yang berada di sini tidak  worth-it untuk dimiliki. Perlu ketelitian dan ekstra usaha untuk berkeliling memilih dan memilah buku mengingat tempatnya yang memang lumayan luas. Soal harga jangan ditanya. Tentu harganya akan sangat berbeda dengan harga buku di

Maiyahan

Gambar
Semalam saya kembali merasakan sesuatu yang sudah lama tidak saya rasakan. Menyibak kerumunan, sembari menenteng sandal kepunyaan. Tak lupa kotak makanan yang sudah disediakan dituntun menuju tujuan. Duduk lesehan, sembari menikmati bau keringat yang tersamarkan dengan asap rokok yang terkepul ria kesana-kemari. Betul sekali. Semalam saya mengikuti sebuah forum pengajian dan pembelajaran atau lebih tepatnya disebut tadabburan Cak Nun & Kiai Kanjeng. Maiyahan . Bukan pertama kali saya melihat beliau memberikan sebuah wejangan. Mulai dari streaming video, rekaman suara, sampai buku bacaannya sudah beberapa kali saya lahap. Saya juga bukan orang yang asing dengan istilah pengajian. Tapi ada satu hal unik yang mungkin baru dipahami oleh orang yang sudah mengikuti forum tadabburan ini secara langsung. Secara live . Gabungan antara formalitas pengajian pada umumnya dan representasi ilmu serta perkembangan jaman saat ini menjadi sebuah paduan yang anehnya, membuat saya terperan

Nostalgia dan Alasan Lain Munculnya #WeekendAtTheMuseum

Gambar
Membaca berita tentang akan ditutupnya Museum tertua di Indonesia yaitu Museum Radya Pustaka di Solo beberapa bulan lalu membuat saya mempertanyakan kembali, sejauh mana kepedulian kita terhadap keberadaan sejarah. Museum sebagai media penyimpan keagungan sejarah, sudah sepatutnya untuk diperhatikan keberadaannya. Museum Radya Pustaka adalah salah satu contoh wajah museum di Indonesia yang masih minim perhatian dari pemerintah maupun masyarakat. Dalam kunjungan kedua saya menuju Museum Trinil di Ngawi, saya menyempatkan diri untuk sedikit berbincang dengan Bapak Catur, Juru Pelihara Museum Trinil. "Kok ndak ada biaya retribusi untuk masuknya ya pak, apa tidak ada pemasukan untuk perawatan museumnya?" tanya saya kepada beliau. "Dulu ada dik, tapi sekarang dihilangkan supaya masyarakat lebih tertarik mengunjungi situs ini. Tapi ya kesadaran masyarakat masih belum terbangun, jadi ya tetap sepi." ujarnya. Papan penunjuk Museum Trinil yang tidak terawa

Karena Magang Tidak Melulu Urusan Pekerjaan

Gambar
Ini bukan pengalaman saya yang pertama untuk solo-kulineran di tempat yang asing. Bukan juga pengalaman pertama solo-kulineran dan mendapati harga yang mengejutkan. Tapi inilah pengalaman solo-kulineran pertama yang membuat saya tidak mampu menghabiskan seluruh makanannya. Jadi, karena kepentingan magang yang mengharuskan saya untuk berpindah domisili menuju kota Ngawi, membuat saya memiliki kesempatan untuk mencicipi berbagai cita rasa kuliner khas Jawa Timur. Tentunya kota berkembang seperti Ngawi masih sulit untuk mencari hiburan semacam bioskop, jadi pada suatu Minggu saya memutuskan untuk menuju kota terdekat yang kebetulan sudah memiliki fasilitas bioskop, Madiun. Kebetulan sepulang dari menonton, saya terpikir untuk mencicipi makanan khas di sini. Bukan, saya tidak akan membahas tentang Pecel Madiun yang legendaris itu. Sudah pernah dengar tentang Ayam Panggang Bu Suryani? Ayam Panggang Bu Suryani Jadi bagi teman-teman yang belum mengetahui, perjalanan d

Takhayul, Gotong Royong, dan Lelaki Harapan Dunia

Gambar
Saya tidak menyangka film ini akan menjadi sebuah suguhan yang renyah dan penuh tawa ketika saya menontonnya pada screening closing film di acara Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF) yang ke-10 Desember lalu. “Men Who Save The World” atau judul lokalnya adalah “Lelaki Harapan Dunia” memiliki pendekatan komedi satir yang mencoba untuk menunjukkan bagaimana pemikiran yang tidak rasional dapat mengacaukan relasi antar manusia. Film ini dimulai ketika salah satu karakter, yaitu Pak Awang (Wan Hanafi) yang ingin memindahkan sebuah rumah yang berada di tengah hutan. Rumah itu akan dihadiahkan kepada sang puteri sebagai kado pernikahan. Bersamaan dengan dimulainya proses pemindahan, kita diajak menilik karakter lain yaitu Solomon (Khalid Mboyelwa Hussein), imigran gelap asal Afrika yang mencoba kabur dari kejaran polisi karena tertangkap menjual barang di jalanan. Dalam pelariannya, Solomon tidak sengaja menemukan rumah tersebut di tengah hutan dan akhirnya dia jadikan sebagai r