Takhayul, Gotong Royong, dan Lelaki Harapan Dunia

Saya tidak menyangka film ini akan menjadi sebuah suguhan yang renyah dan penuh tawa ketika saya menontonnya pada screening closing film di acara Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF) yang ke-10 Desember lalu. “Men Who Save The World” atau judul lokalnya adalah “Lelaki Harapan Dunia” memiliki pendekatan komedi satir yang mencoba untuk menunjukkan bagaimana pemikiran yang tidak rasional dapat mengacaukan relasi antar manusia.


Film ini dimulai ketika salah satu karakter, yaitu Pak Awang (Wan Hanafi) yang ingin memindahkan sebuah rumah yang berada di tengah hutan. Rumah itu akan dihadiahkan kepada sang puteri sebagai kado pernikahan. Bersamaan dengan dimulainya proses pemindahan, kita diajak menilik karakter lain yaitu Solomon (Khalid Mboyelwa Hussein), imigran gelap asal Afrika yang mencoba kabur dari kejaran polisi karena tertangkap menjual barang di jalanan. Dalam pelariannya, Solomon tidak sengaja menemukan rumah tersebut di tengah hutan dan akhirnya dia jadikan sebagai rumah persinggahan. Dia tidak mengira keputusannya untuk bersembunyi di sana akan menimbulkan permasalahan dan polemik tentang hantu “orang minyak” terhadap warga kampung tersebut.

Film “Lelaki Harapan Dunia” ini menyindir sisi takhayul yang mengakar kuat dalam masyarakat kita.

“Ini sangat cocok dalam konteks menjadi Asia, khususnya Asia Tenggara. Kita adalah sekumpulan orang-orang yang percaya pada takhayul, termasuk saya. Kita terlahir dalam kondisi ini bahkan ketika kita memiliki agama, yang memberitahu kita tentang apa yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan.” ucap sang sutradara, Liew Seng Tat, ketika diwawancarai oleh Cinemapoetica.

“Saya pikir dalam film ini saya menggunakan konteks takhayul di komunitas kita. Tapi ada tema yang universal di cerita ini. Dalam konteks kita adalah takhayul, dalam konteks lain mungkin bentuk lain yang juga berefek pada komunitas dalam cara yang sama. Di barat pasti berbeda.” lanjutnya.


Satu hal yang unik dan menarik pemikiran saya dalam film ini adalah sebuah kemakluman dan kebiasaan komunitas kita, Melayu khususnya, sering memanggil atau “mengejek” sahabatnya yang berasal dari ras Tionghoa dengan sebutan “Cina”. Bukan isu rasisme yang diangkat, namun justru sebaliknya, penonton diajak untuk tidak mudah tersinggung dengan isu rasisme. Guyonan-guyonan yang dilemparkan hanyalah candaan semata tanpa mengandung intensi merendahkan. Namun, tetap saja kefahaman sebuah konteks sindiran akan sangat subyektif ketika dilemparkan kepada masyarakat luas.

Pada akhirnya, film ini adalah sebuah gambaran kebudayaan kita, bagaimana masyarakat masih menanggapi mitos secara berlebihan tanpa mempertanyakan kebenarannya. Film tragicomedy yang tepat untuk ditonton di waktu luang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Maiyahan

Opa Zul