Opa Zul

Sudah dua kali saya datang kesini. Kios tua yang juga dijaga oleh seseorang yang sangat tua. Zulkifli namanya. Saya lebih suka memanggilnya Opa Zul. Entah kenapa saya tidak akan pernah merasa cukup untuk datang kesini berulang kali. Ada saja hal yang saya pelajari ketika berkunjung kesini. Dalam kesempatan kali ini, beliau sedang sibuk menulis sesuatu. Bukan, bukan menulis. Lebih tepatnya beliau sedang memperbaiki sebuah cover buku yang sudah terkelupas di beberapa bagiannya.


"Yang biasa bantu-bantu sudah pulangkah, Opa?" tanya saya.

" Oh iya, sudah pulang" jawabnya.

Konversasi terpotong karena proses memilah dan memilih beberapa buku. Kemudian berlanjut kembali.

"Besok lebaran libur kah tokonya, Opa?" tanya saya kembali.

"Dua hari. Dua hari sudah cukup lah." jawabnya.

"Ndak pulang ke kampung? Aslinya sebenarnya mana Opa?" lanjut saya.

"Tsunami... tapi sudah di sini 60 tahun" jawabnya tegas sembari tertawa kecil.

Saya sedikit tersenyum ketika beliau mengatakannya. Kisah-kisah mulai mengalir dari bibir senjanya. Opa Zul sampai hari ini memiliki tujuh anak, empat belas cucu, dan sembilan cicit. Hampir semuanya sudah berpencar dan merantau ke berbagai daerah. Beliau juga lebih memilih terus bekerja sebagai penjaga kios buku tuanya daripada menganggur di rumah, walaupun sudah sering diingatkan untuk beristirahat saja oleh anak-anaknya. Ketika saya tanya apa rahasia sampai di usianya ini masih sehat dan bugar, beliau menjawab dengan penuh semangat,

"Ya dilatih terus pakai itu." sembari menunjuk sepeda listrik yang digunakannya untuk berangkat dari rumah menuju kiosnya.


Saya sedikit terkaget dan takjub sembari mengamati sepeda tersebut. Melihat kekagetan saya, beliau balik bertanya kepada saya tentang pekerjaan dan alamat saya.

"Masih kuliah Opa, tinggalnya di Jalan Kaliurang sana." jawab saya sekenanya.

"Kamu masih muda nak, masih kuat, tidak seperti saya. Jadi kamu jangan sekali-kali menyianyiakan kesempatan untuk belajar." balasnya.

Sebuah peringatan dari orang tua kepada seorang pemuda. Ya, saya tau saya bukan apa-apa bila dibandingkan dengan beliau. Kebesaran hati dan etos kerja yang beliau miliki tentu patut untuk dijadikan sebagai cerminan diri. Dan dalam momen Ramadan seperti ini, mendapatkan pembelajaran dari beliau adalah sesuatu yang entah mengapa, membuat saya berpikir kembali. Sudah seberapa syukur saya terhadap kehidupan saya sendiri?

Akhirnya, saya juga membeli buku yang covernya tadi telah diperbaiki sedikit oleh Opa Zul. Bukan hanya tentang isinya, tetapi juga kesan mendalam dari coretan berharga seorang pekerja di usia senja.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Maiyahan